BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asbabun
Nuzul
Secara bahasa Asbabun Nuzul
terdiri dari dua kata yaitu Asbab, jamak dari sabab yang berarti sebab atau
latar belakang, sedangkan Nuzul merupakan bentuk masdar dari anzala yang
berarti turun. Pengertian asbab an-nuzul secara istilah adalah sesuatu yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang mencakup suatu permasalahan dan
menerangkan suatu hukum pada saat terjadi peristiwa-peristiwa.
Menurut Quraish Shihab berdasarkan
kutipan dari al-Zarqani, asbab an-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat
dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.
M.
Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbabun Nuzul sebagai kejadian yang karenanya
diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul
kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Al-Qur’an diturunkan serta
membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun
kemudian lantaran sesuatu hikmah.
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa
asbabun adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya
wahyu tertentu dari Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa satu ayat,
satu rangkaian ayat maupun satu surat.
Subhi Shalih menyatakan bahwa
Asbabun Nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya
sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu
pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau
sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.
Az-Zarqani berpendapat bahwa asbabun
nuzul adalah keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi
tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu
kejadiannya.
Dari pengertian tersebut di atas dapat
ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat. Pertama, suatu ayat
turun ketika terjadi suatu peristiwa. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah
kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik ke
bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu
Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya
untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka turunlah surat Al-Lahab.
Kedua, suatu ayat turun apabila
Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al-Qur’an yang
menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khaulah binti Sa’labah kepada Nabi SAW
berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin Samit, padahal Khaulah
telah menghabiskan masa mudanya dan telah sering melahirkan karenanya. Namun
sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya ketika sudah tua dan tidak melahirkan
lagi. Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan
perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin Samit.
Asbabun
nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an memiliki hubungan dialektis
dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Namun demikian, perlu ditegaskan
bahwa Asbabun nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang
bersangkutan. Artinya, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab
tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun.
Komaruddin Hidayat memposisikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an, sebagaimana kitab
suci yang lain dari agama samawi, memang diyakini memiliki dua dimensi, yaitu
historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak antara Tuhan dan
manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalamNya yang kemudian
menyejarah.
B.
Sumber dan Cara Mengetahui Asbabun
Nuzul
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang
sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka nal itu bukan sekadar
pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada
Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai asbabun
nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung
dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan
membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”
Inilah jalan yang ditempuh oleh
ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun
nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku
tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Qur’an, dijawabnya:”Bertakwalah
kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai
apa Qur’an itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para sahabat. Apabila
seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka
sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang
menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-benar
asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun
nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang
secara pasti menunjukkan asbabun nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan
seorang tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat
diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu
benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari
para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung
oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab an-nuzul melalui
riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat
shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu
yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari
orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat
dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap
dhaif (lemah).
Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat
dikenali melalui empat cara yaitu:
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang
sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah
demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada
kemungkinan mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz
sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna
maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang
turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan
pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya.
Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk
dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari
konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab
pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab
secara tegas.
Tetapi menggunakan ungkapan dalam
redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada
kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang
sedang dihadapi.
Berbeda pendapat dalam menggolongkan
cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul, ada yang mengatakan sebagai
penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat. Menurut Supiana
berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para sahabat
dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang
ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu,
bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk
menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah
konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul
atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia menjelaskan, jika
terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama, salah satu ada nash
menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian, maka
redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap
sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua riwayat yang
menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang mu’tamad ialah riwayat yang
sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat, maka
dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak
mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam
ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.
C. Metode Penelitian dan Pentarjihan Asbabun Nuzul
Penelitian
dilakukan terhadap riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena banyak
riwayat tidak memenuhi syarat keshahihannya.
Apabila asbab
an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul beberapa
kemungkinan sebagai berikut:
1.
Kedua riwayat tersebut yang satu
shahih dan yang lain tidak.
2.
Kedua riwayat tersebut shahih,
tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan yang lain tidak.
3.
Kedua riwayat tersebut shahih dan
tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah satunya tetapi dapat
dikompromikan.
4.
Kedua riwayat tersebut shahih dan
tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya dan kedua-duanya tidak mungkin
dikompromikan.
Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah:
1.
Apabila kedua riwayat shahih, yang
pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas, sedangkan yang kedua
tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
2.
Apabila kedua riwayat shahih,
salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain diriwayatkan oleh perawi yang
menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang lebih rajih (kuat).
3.
Apabila kedua riwayat menerangkan
sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih, sedangkan lain shahih
tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat yang shahih lagi
rajih.
4.
Apabila kedua riwayat shahih dan
tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat yang berulang kali
diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting dan untuk
mempermudah diingat.
D. Kedudukan Asbabun Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an
Mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami
Al-Qur’an. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah
ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan
cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan
Al-Qur’an. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat
ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.
Berikut ini paparan dua kisah yang
dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya
ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak dapat memahami makna dan maksud
sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam.
Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan
pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah sekali-kali kamu
menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan
dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa.
Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
Setelah membaca ayat tersebut,
Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa
yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan
disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara tekstual, apa yang
dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual tidaklah demikian. Ibn
‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan
kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi
Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan
kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian
dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan
‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minuman keras (khamar)
diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen dengan firman Allah SWT,
yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal saleh
mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka
mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti
itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang
mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut
sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs), bagaimana dengan nasib para
syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk
memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan yang lain)
Begitu juga dengan firman Allah SWT
yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau menghadap, di sana ada
Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun
ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang berkata, “Secara tekstual,
ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak wajib
menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.” Pendapat seperti ini,
tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila
sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan
dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan (safar). Selain itu, juga
berkenaan dengan orang yang melakukan shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian
sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
Asbabun nuzul memiliki kedudukan
(fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an,
sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang
dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul, diantaranya:
a.
Mengetahui sisi-sisi positif
(hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b.
Dalam mengkhususkan hukum bagi
siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu
didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c.
Kenyataan menunjukkan bahwa
adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang
memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada
pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.
Metode penelitian dan pentarjihan
asbab an-nuzul harus dilakukan penelitian terhadap riwayatnya, karena ada dua
kategori dalam sebab penurunannya. Pertama, banyak turun ayat pada satu
peristiwa, sedangkan yang kedua, banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang
turun.
Kedudukan asbab an-nuzul dalam
pemahaman Al-Qur’an sangat membantu dalam memahami Al-Qur’an, apabila tidak
niscaya banyak kekeliruannya. Kebanyakan ulama untuk menjadikan pedoman hukum
lebih sepakat pada “umum lafadh” daripada “khusus sebab”, karena mempunyai tiga
macam dalil yaitu: pertama, lafadh syar’I saja yang menjadikan hujjah dan
dalil. Kedua, kaidah tersebut ditanggungkan kepada makna selama tidak ada
pemalingannya dari makna tersebut. Ketiga, para sahabat dan mujtahid kebanyakan
tanpa memerlukan qias atau mencari dalil apabila berhujjah dengan lafadh yang
umum dari sebab yang khusus.
Blog walking
BalasHapushttp://asbabunnuzulquran.blogspot.com/p/daftar-isi.html